Kekerasan terhadap Perempuan: Darurat Bangsa
Oleh: Ewia Putri Akhir-akhir ini, media sosial dan pemberitaan dipenuhi oleh headline yang mengkhawatirkan: pelecehan seksual, kekerasan, da...
Oleh: Ewia Putri |
Akhir-akhir ini, media sosial dan pemberitaan dipenuhi oleh headline yang mengkhawatirkan: pelecehan seksual, kekerasan, dan kasus-kasus yang merusak moralitas. Namun, di antara semua berita kriminalitas yang mencengangkan, kasus kematian akibat pemerkosaan menjadi yang paling mengguncang. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar tentang keamanan perempuan di ruang publik.
Menurut data terbaru, Indonesia mencatat 17.407 kasus kekerasan, dengan mayoritas korbannya adalah perempuan. Lebih dari sekadar angka statistik, data ini menggambarkan penderitaan yang nyata dan masif. Banyak pakar percaya bahwa jumlah ini hanya puncak gunung es—ribuan, bahkan puluhan ribu kasus lainnya tersembunyi dalam diam, dibalut ketakutan dan rasa malu korban untuk melapor.
*Dampak Multidimensi Kekerasan terhadap Perempuan*
Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya merusak kehidupan individu, tetapi juga membawa dampak destruktif bagi masyarakat secara keseluruhan. Dari sisi psikologis, korban sering kali mengalami trauma berkepanjangan, termasuk depresi, kecemasan, hingga PTSD (gangguan stres pasca-trauma). Anak-anak yang tumbuh di lingkungan kekerasan pun berisiko mengalami gangguan perkembangan dan membawa siklus kekerasan ini ke generasi berikutnya.
Dampak dari kekerasan ini juga merambah pada masalah keamanan publik. Ketika separuh dari populasi merasa tidak aman di ruang publik maupun privat, hal itu menandakan kegagalan dalam melindungi hak-hak dasar warga negara. Kekerasan di ruang publik seperti transportasi umum atau tempat kerja tidak hanya melukai individu, tetapi juga merusak rasa aman kolektif masyarakat, melemahkan kepercayaan kita terhadap kemampuan negara untuk melindungi rakyatnya.
Tidak kalah penting adalah dampak ekonominya. Kekerasan berbasis gender tidak hanya menghancurkan kehidupan pribadi, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi besar. Studi Bank Dunia menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat mengurangi produktivitas nasional hingga 3,7% dari PDB. Bagi Indonesia, ini berarti kerugian sekitar $42,5 miliar per tahun—jumlah yang setara dengan hilangnya peluang pembangunan infrastruktur dan penciptaan lapangan kerja.
*Akar Masalah: Budaya, Hukum, dan Ekonomi*
Untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan, kita harus menggali lebih dalam akar masalahnya. Budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki masih kuat berakar di masyarakat. Edukasi kesadaran gender sejak dini menjadi krusial untuk memutus siklus ini. Selain itu, lemahnya penegakan hukum sering kali memberi ruang bagi pelaku kekerasan untuk lolos dari hukuman, menciptakan ketidakadilan yang terus berulang.
Sistem dukungan sosial yang terbatas juga memperparah situasi. Banyak korban yang merasa tidak memiliki tempat untuk berlindung atau tidak mampu mendapatkan bantuan hukum yang memadai. Ketergantungan ekonomi perempuan terhadap pasangan atau keluarga juga seringkali menjebak mereka dalam situasi kekerasan, menambah kompleksitas permasalahan.
*Rekomendasi Solusi: Langkah Sistemik dan Terukur*
Untuk menghadapi tantangan ini, kita memerlukan pendekatan yang komprehensif. Pemerintah perlu mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang memberikan perlindungan maksimal bagi korban dan sanksi tegas bagi pelaku. Alokasi anggaran yang lebih responsif terhadap kebutuhan perempuan juga harus ditingkatkan, termasuk untuk program pencegahan dan penanganan kekerasan.
Reformasi pendidikan juga memainkan peran penting. Kurikulum nasional harus mengintegrasikan pendidikan tentang kesetaraan gender dan pencegahan kekerasan, dimulai dari tingkat dasar. Penguatan lembaga seperti Komnas Perempuan dan lembaga serupa di daerah harus menjadi prioritas, dengan dukungan wewenang dan sumber daya yang memadai.
Investasi dalam pemberdayaan ekonomi perempuan, seperti akses yang lebih besar terhadap pendidikan dan pelatihan keterampilan, juga akan mengurangi kerentanan mereka terhadap kekerasan. Selain itu, kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif, seperti pemberian cuti melahirkan yang memadai dan fasilitas penitipan anak, perlu diadopsi oleh perusahaan untuk mendukung perempuan di tempat kerja.
*Peran Media dan Masyarakat*
Media memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk opini publik tentang kekerasan terhadap perempuan. Pemberitaan yang sensasional tidak akan membantu. Sebaliknya, media harus fokus pada jurnalisme solusi—mengungkap akar masalah, menawarkan pemahaman yang lebih dalam, dan memberikan sorotan pada inisiatif-inisiatif yang berhasil mengurangi kekerasan.
Masyarakat juga memegang peran penting dalam pencegahan. Melaporkan kasus kekerasan, mendukung korban, dan terlibat dalam kampanye pencegahan di lingkungan sekitar adalah langkah nyata yang dapat diambil oleh setiap individu. Kita harus menciptakan budaya di mana kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dikecam, tetapi dianggap sebagai aib kolektif yang harus dihapuskan bersama.
Kekerasan terhadap perempuan bukan sekadar isu gender—ini adalah krisis kemanusiaan yang mengancam masa depan bangsa. Setiap tindakan kekerasan bukan hanya melukai satu individu, tetapi juga merusak tatanan sosial, ekonomi, dan keamanan yang menjadi fondasi negara kita.
Indonesia tidak bisa mencapai potensi penuh sebagai kekuatan global tanpa melindungi dan memberdayakan separuh populasinya. Sudah saatnya kita memahami bahwa kesetaraan gender bukanlah sekadar isu perempuan, melainkan prasyarat fundamental bagi pembangunan nasional yang adil dan berkelanjutan. Kini saatnya bertindak demi masa depan yang lebih baik—bukan hanya bagi perempuan, tetapi bagi seluruh bangsa.