Muhammadiyah dan Politik Otoritarianisme
Arifman Kepala TPQ Bustanuddin Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang didirikan pada tahun 1912 oleh K...
Arifman Kepala TPQ Bustanuddin |
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang didirikan pada tahun 1912 oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Organisasi ini sejak awal memiliki visi untuk memajukan umat melalui pendidikan, pelayanan sosial, dan dakwah Islam. Namun, dalam sejarah perjalanan bangsa, hubungan Muhammadiyah dengan politik, terutama dalam konteks otoritarianisme, menjadi isu yang menarik untuk dikaji.
Muhammadiyah dan Prinsip Non-Partisan
Muhammadiyah sejak awal menegaskan posisinya sebagai gerakan Islam yang tidak berafiliasi dengan partai politik. Prinsip ini lahir dari keyakinan bahwa organisasi dakwah harus fokus pada pembaruan dan pembinaan umat tanpa terjebak dalam pragmatisme politik. Sikap non-partisan ini membuat Muhammadiyah sering kali menjaga jarak dari kekuasaan, terutama dalam era pemerintahan yang cenderung otoriter.
Namun, sikap non-partisan bukan berarti apolitis. Muhammadiyah tetap aktif dalam menyuarakan keadilan sosial, penegakan hukum, dan nilai-nilai demokrasi. Dalam konteks otoritarianisme, sikap Muhammadiyah ini sering kali menjadi tantangan, karena pemerintah otoriter cenderung menuntut loyalitas total dari elemen masyarakat.
Muhammadiyah di Era Orde Lama
Pada masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, Muhammadiyah menghadapi tekanan politik yang signifikan. Kebijakan demokrasi terpimpin yang diterapkan Soekarno mengonsolidasikan kekuasaan eksekutif dan membatasi ruang gerak organisasi masyarakat sipil. Meskipun Muhammadiyah mendukung beberapa agenda nasional, seperti pembebasan Irian Barat, organisasi ini sering kali bersikap kritis terhadap dominasi ideologi tertentu, termasuk komunisme yang berkembang saat itu.
Muhammadiyah tetap konsisten menjaga independensinya, meskipun menghadapi tantangan dari rezim yang menuntut konformitas ideologis. Sikap ini membuat Muhammadiyah menjadi salah satu kekuatan moral yang kritis terhadap kebijakan otoriter pemerintah.
Muhammadiyah di Era Orde Baru
Di bawah pemerintahan Orde Baru (1966-1998), Muhammadiyah menghadapi situasi yang lebih kompleks. Pemerintahan Presiden Soeharto yang otoriter menuntut stabilitas politik dan kesetiaan dari semua elemen masyarakat. Di sisi lain, pemerintah mengontrol ketat aktivitas organisasi kemasyarakatan melalui undang-undang dan kebijakan, seperti UU Keormasan tahun 1985, yang mewajibkan semua organisasi untuk menerima asas tunggal Pancasila.
Muhammadiyah menanggapi kebijakan ini dengan hati-hati. Meskipun menerima Pancasila sebagai asas organisasi, Muhammadiyah menegaskan bahwa hal itu tidak akan mengubah identitasnya sebagai gerakan Islam. Dalam konteks ini, Muhammadiyah sering kali menjadi penyeimbang kekuasaan otoriter dengan tetap menyuarakan aspirasi rakyat, terutama terkait keadilan sosial dan pembangunan manusia.
Muhammadiyah dan Demokrasi Pasca-Reformasi
Setelah runtuhnya Orde Baru dan masuknya era reformasi, Muhammadiyah mendapatkan ruang lebih luas untuk mengekspresikan visi dan misinya. Namun, tantangan baru muncul dalam bentuk fragmentasi politik dan meningkatnya pragmatisme di kalangan elite. Muhammadiyah terus menegaskan posisinya sebagai mitra kritis pemerintah, dengan fokus pada isu-isu strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam konteks demokrasi, Muhammadiyah tetap berkomitmen mendukung penegakan nilai-nilai demokrasi sambil menjaga jarak dari partai politik. Sikap ini membedakannya dari banyak organisasi lain yang terlibat langsung dalam politik praktis.
Kesimpulan
Muhammadiyah memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, terutama dalam menghadapi dinamika politik otoritarianisme. Dengan prinsip non-partisan dan fokus pada pembaruan umat, Muhammadiyah telah menjadi kekuatan moral yang konsisten dalam memperjuangkan keadilan sosial dan nilai-nilai demokrasi. Dalam menghadapi tantangan politik otoriter di masa lalu maupun di masa depan, Muhammadiyah tetap menjadi simbol keberanian untuk menjaga independensi dan integritas di tengah godaan kekuasaan.
Melalui perjalanan panjangnya, Muhammadiyah menunjukkan bahwa gerakan Islam dapat berperan sebagai penjaga moral bangsa tanpa harus terjebak dalam pragmatisme politik. Ini adalah pelajaran penting bagi semua elemen masyarakat dalam membangun Indonesia yang lebih adil, demokratis, dan bermartabat.