Gudeg tanpa Nangka Citarasa Terasa Hampa

AS Agusta, S.IP, M.A. Akademisi Dalam khazanah kuliner di Indonesia, gudeg dikenal sebagai hidangan yang sabar dimana ia dimasak berjam-jam,...

AS Agusta, S.IP, M.A.
Akademisi

Dalam khazanah kuliner di Indonesia, gudeg dikenal sebagai hidangan yang sabar dimana ia dimasak berjam-jam, pelan-pelan, hingga manisnya meresap ke tulang dagingan, ia tidak pernah tergesa. Namun bayangkanlah sebuah gudeg tanpa nangka hanya air gula, santan, dan harapan. Sama halnya Itulah bentuk perkumpulan hari ini ada bentuknya namun cita rasanya terasa hampa. Kita sedang menyantap “gudeg” yang kehilangan bahan dasarnya yakni rasa kemanusiaan, jikalau ego masih kita pertahankan.

Sebagian pengelola perkumpulan hari ini lebih fasih membaca laporan keuangan daripada membaca ekspresi kelelahan anggotanya. Sehingga yang berjuang menanam dan memupuk tidak terlihat jasanya karena kegiatannya terlihat kotor dan berlumpur. Yang terlihat hanya keindahan semu yang datang dengan pakaian rapi lagi di setrika. Kemudian sebagian mereka peka terhadap neraca, tapi tuli terhadap jeritan nurani yang berjuang dengan segala kekurangannya, tanpa diberikan kesempatan untuk ia membuktikan kemampuan yang dimilikinya. Seolah-olah keberhasilan perkumpulan diukur dari jumlah acara, bukan jumlah hati yang disentuh. Inilah “manajemen rasa” yang berubah menjadi “manajemen data” mereka merangkul tabel, tapi melepas tangan manusia.


Dalam teori organisasi klasik, kita mengenal rasionalitas instrumental. Ada pula bagaimana pembagian kerja yang adil dan profesional. Tapi dalam praktik sosial terkini, yang berkembang justru “rasionalitas kuliner” memasak perkumpulan dengan api besar, berharap matang dalam lima menit, dan lupa bahwa bahan mentahnya adalah manusia, bukan mesin. Sehingga menghargai manusia lebih utama dari pada menyanjung seseorang berlebihan, pijakan anak tangga yang dilalui tiada arti ketika si paling sempurna menguasai segala bidang, atau si ego yang mempertahankan status kuo.

Masyarakat sipil bukanlah pabrik. Ia adalah dapur. Di sana, kita tidak sekedar mengatur bahan, tapi mengolah rasa. Ketika rasa itu hilang ketika empati ditukar dengan efisiensi maka jadilah ia seperti gudeg instan yang cepat saji, tapi tak membekas. Kita memakan sesuatu yang disebut “partisipasi”, tapi rasanya seperti kardus. Terlihat indah dan nikmat, namun ketika dirasa kenikmatan itu akan hilang tanpa rasa. Sehingga yang tertinggal hanya bentuk semu semata.

Oleh sebab itu, mari kita pulihkan “resep asli” perkumpulan manusia yang memiliki rasa, satu sendok transparansi, dua genggam empati, dan jangan lupa nangka kemanusiaannya, lalu tambahkan garam kepercayaan.  Tanpa itu, kita hanya sedang mengelola sebongkah formalitas, bukan peradaban. Jangan terlalu banyak menambah cabai, karena menimbulkan pedas dan luka yang mendalam. Berikanlah kesempatan bagi yang semangat untuk membangun, sudahi cemburu dan ketakutan yang tidak perlu, perkumpulan sejati untuk semua bukan untuk individu, kelompok atau kolega. Hargailah yang sudah berjuang dengan segala batas yang ia miliki.

Related

Opini 2472850836397552563

Terbaru

Hot in week

Komentar

item