Hijau itu Fitrah

AS Agusta, S.IP,M.A. Akademisi Ekologi merupakan suatu ilmu yang mengajari hubungan antara organisme dengan lingkungannya atau antar organis...

AS Agusta, S.IP,M.A.
Akademisi

Ekologi merupakan suatu ilmu yang mengajari hubungan antara organisme dengan lingkungannya atau antar organisme lainnya. Dalam ekologi dikenal pula istilah sinekologi yaitu ekologi yang di tujukan pada multi organisme hidup (E.A. Burger dan Chaunry Juday). Selanjutnya juga ada suatu istilah enviromental science atau paradigma ilmu lingkungan yang merupakan suatu metode dalam menghadapi kehidupan manusia yang kompleks dibawah tatanan alam semesta (Armour dan Lang, 1975).


Dalam pengamatan ilmu lingkungan tentunya tidak bisa sebatas teori sebagaimana yang disampaikan oleh beberapa ahli tanpa ada uji pada teori tersebut dalam bentuk kegiatan lingkungan yang berdampak langsung pada organisme kehidupan. Kalau ditelusuri lebih lanjut dunia yang kian digerogoti oleh kerakusan manusia atas nama pembangunan, kemudian sampah yang dibuang ke sungai tanpa rasa bersalah, kemudian acuh pada polusi dan pembakaran hutan merupakan bentuk-bentuk kerusakan lingkungan yang harus kita hadapi secara bijak hari ini.


Menghadapi hal tersebut, maka gerakan peduli lingkungan hadir bukan sebagai tren musiman, melainkan sebagai keniscayaan ekologis. Dalam kajian ekologi, keberlanjutan alam tidak bisa dipisahkan dari kesadaran sosial, budaya, dan spiritual. Alam bukan sekadar objek eksploitatif, melainkan subjek yang harus dihormati secara etis dan ilmiah, kita bisa memandang alam sebagai fitrah kehidupan dimana dengan alam yg hijau lestari akan memberikan keindahan mata memandang dan kesejukan hati yang tentram. 


Sebagai seorang akademisi, saya melihat bahwa masalah lingkungan bukan semata persoalan teknis atau regulatif. Ini adalah krisis epistemik dimana adanya kegagalan sistem yang hirarkis pengetahuan dalam mengintegrasikan nilai, data, informasi dan kebijakan menjadi satu kesatuan yang membebaskan. Ironisnya, di era big data, kita justru kehilangan big wisdom. Sementara nilai-nilai keagamaan mengajarkan kita arti sebuah penjagaan dan pelestarian lingkungan. Pengelolaan lingkungan ditujukan kepada prilaku yang ramah lingkungan, sehingga istilah lingkungan tidak boleh diobral, maknanya semakin kabur atau bahkan hilang artinya secara hakiki.


Namun demikian, dalam khazanah Islam, kepedulian terhadap lingkungan sudah lama menjadi fondasi teologis. Al-Qur’an tidak hanya mengajak manusia menjadi khalifah di bumi, tetapi juga menegaskan bahwa merusak bumi adalah bentuk pengingkaran iman: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya..." (QS. Al-A'raf: 56). Gerakan keislaman sejatinya membawa pesan ekoteologis, bukan sekadar seruan moral, tetapi tindakan nyata untuk menjaga bumi sebagai amanah Tuhan.


Sayangnya, sebagian gerakan keislaman hari ini lebih sibuk berdebat soal warna hijab ketimbang warna air sungai yang menghitam. Sementara khutbah Jumat lebih sering membahas poligami daripada polusi. Di sinilah kita butuh suatu tindakan nyata dalam bentuk kebijakan yang diturunkan menjadi teknis pelaksanaan untuk melestarikan lingkungan hidup. Kita tidak cukup sekedar pintar berdebat soal halal haram makanan, atau berdebat soal suka dan tidak suka pada seseorang, kelompok atau budaya namun tidak pernah menanyakan apakah udara yang kita hirup itu halal untuk paru-paru anak-anak atau tidak? kemudian air sungai yang kita konsumsi untuk kehidupan primer masih pantas atau tidak? Lebih lanjut kalau hal ini kita biarkan maka terjadilah dua faktor kerusakan yakni kerusakan kejadian alam atau lebih  mengkhawatirkan adalah kerusakan oleh ulah manusia. 

Mengatasi hal tersebut maka tidak cukup dengan ber doa' semata, doa' harus diiringi dengan kebijakan dan tindakan langsung yang menyentuh pada akar rumput seperti bagaimana kita memandang pengelolaan bencana, cara tindakan preventif, tindakan praktis penanggulangan bencana misalnya tanggap darurat, recovery dan pemulihan hak-hak korban, begitupula para pemangku agama hendaknya memberikan pemahaman terhadap fiqih kebencanaan terutama dalam hal ibadah saat bencana. Kalau semua bersinergi maka semua ancaman lingkungan dapat diatasi.


Dalam kebijakan publik, pendekatan yang berpihak pada ekologi semestinya berbasis pada informasi yang transparan, partisipatif, dan berkeadilan. Pemerintah bukan sekadar membuat regulasi lingkungan, tetapi menjadi pionir dalam menginternalisasi nilai-nilai ekologis dalam setiap sektor kebijakan, termasuk pendidikan, transportasi, dan tata ruang. Dalam hal ini, informasi menjadi fondasi demokrasi ekologis masyarakat berhak tahu, dan pemerintah wajib membuka.

Integrasi antara nilai Islam, ilmu informasi, dan kebijakan publik merupakan pendekatan holistik yang menjanjikan. Kita tidak hanya butuh gerakan peduli lingkungan, tetapi gerakan berilmu dan beriman untuk lingkungan. Gerakan ini bukan hanya memungut sampah, tetapi juga membersihkan mentalitas yang permisif terhadap perusakan bumi.

Karena pada akhirnya, bumi tidak sedang sakit ia hanya protes atas manusia yang lupa bahwa mereka adalah tamu, bukan pemilik. Dan sebagaimana tamu yang baik, sudah semestinya kita pamit dengan meninggalkan bumi dalam keadaan lebih bersih, lebih sehat, dan lebih bermartabat. Salam sehat, salam bersih, mulai dari diri sendiri untuk menjaga kelestarian lingkungan. Fastabiqul Khoirot.

Related

Rawang 6617715149002003108

Terbaru

Hot in week

Komentar

item