Memanggil Tuhan dengan Bahasa Algoritma
AS Agusta, S.IP. MA Akademisi Masyarakat 5.0 merupakan konsep revolusioner yang memperlihatkan evolusi manusia menuju era perubahan te...

![]() |
AS Agusta, S.IP. MA Akademisi |
Di tengah dunia yang semakin kompleks manusia tidak hanya menatap kepada langit, mencari wangsit di tempat keramat dan sebagainya. Kini perubahan itu nyata adanya dimana manusia menatap layar 6 - 10 inci kemudian berharap mendapat jawaban dari mbah yang di anggap maha tau "google" dengan segala kecerdasan yang dibangun dalamnya. Kini kita telah resmi melompat di era masyarakat 5.0 sebuah fase sejarah yang bukan hanya menggabungkan dunia fisik dan digital, namun juga menguburkan nalar spiritual di bawah timbunan big data dan sensor automatis.
Mungkin kita bisa menganggap bahwa masyarakat 5.0 seperti wahyu modern, yang memiliki banyak janji kesejahteraan, inkluisvitas dan keberlanjutan. Namun menjadi pertanyaan berikutnya ialah siapa yang sebenar-benarnya akan diselamatkan oleh revolusi ini? ataukah kita yang menciptakan surga digital yang terdapat hikmah didalamnya, atau menciptakan babilonia baru di awan-awan cloud server?
Literasi informasi saat ini tentunya tidak cukup dengan kemampuan mengakses dan mengevaluasi infromasi saja, ia kini harus bertakwa digital dimana paham metadata, fasih dalam privasi, dan mengaji algoritma dengan khusyuk. Namun sayangnya, tidak sedikit umat yang lebih mempercayai pada rekomendasi TikTok daripada firman Tuhan, atau lebih memilih trending topic daripada kitab hikmah. Paradoksnya dalam upaya menciptakan manusia yang literat digital, kita abai bahwa kecerdasan spiritual belum tentu kompatibel dengan kecerdasan buatan. Ketika Tuhan menurunkan wahyu kepada Nabi Musa AS di gunung, namun kini wahyu turun melalui notifikasi push, semua serba instan, termasuk iman.
Holistik yang merupakan ciri khas masyarakat 5.0 bahwa keutuhan sejati tidak hanya terletak pada integrasi data, tapi juga pencerahan jiwa. Maka dari itu, penting bagi kita untuk merevolusikan pengembangan literasi informasi yang disinari oleh nilai keagamaan sebagai protect kehidupan. Informasi yang bukan hanya sekedar relevan tapi juga harus rahmatan lil 'alamin.
Teknologi dalam sisi lain memang netral sesuai dengan siapa user yang memanfaatkannya, namun tangan-tangan ideologis yang membentuk itu harus memiliki filter kebijaksanaan. Namun ketika litersi informasi yang tidak kita sandarkan pada etika ilahiyah maka hanya menjadi manusia melek data tapi buta nurani. Sebagai manusia modern kita sangat paham dan tau kapan gawai kehabisan daya, tapi terkadang kita tidak menyadari kapan akhlak kita mati suri.
Oleh sebab itu, disaat sekarang waktu masih diberikan Tuhan maka masih ada kesemapatan kita membayangkan masyarakat 5.0 yang bukan hanya memiliki jaringan 5G namun juga memiliki jaringan kesolehan sosial. Bukan sekedar mengatahui cara mengunduh informasi, tapi juga bisa mengunduh hikmah dari langit, lalu kita mengunggahnya ke dalam kehidupan sehari-hari. Karena dalam masyarakat di mana robot bisa menggantikan manusia, maka hanya manusia yang beriman yang tetap layak disebut manusia.
Seandainya Sophie dari semesta filsafat hidup di abad ini dan menyimak pidato futuristik tentang masyarakat 5.0 barangakali ia bertanya, apakah manusia menjadi bijaksana, atau hanya lebih terhubung? pertanyaan-pertanyaan filosofis bukanlah pelarian, ia merupakan pintu gerbang menuju sadar yang hakiki. Kebijakan sejati bukan hasil pemrosesan data, melainkan perenungan batin. dan ditengah eforia literasi digital, kita seperti Plato dalam gua data, terpukau oleh bayang-banyang notifikasi. Padahal, seperti Aristoteles melalui suara menyampaikan "keinginantahuan awal dari filsafat". Namun dalam masyarakat yang terlalu scroll down tidak sempat look within, keingintahuan itu kini sirna terbatasi oleh kecepatan keneksi dan kuota.
Literasi informasi yang terintegrasi dengan nilai-nilai dan spirit keagamaan merupakan jalan mengembalikan manusia pada dasarnya yakni sebagai makhluk pencari makna, bukan sekedar pengguna fitur. Teknologi, nalar pikir dan keimanan jangan dijadikan bug tapi ia dijadikan framework utama. Tidak semua pertanyaan dapat dijawab chatbot, dan tidak pula semua keresahan bisa diobati dengan update firmware. Pada akhirnya masyarakt 5.0 adalah cermin ia memantulkan semua nilai-nilai yang kita manfaatkan.teknologi tinggi adalah bentuk kemajuan, namun tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya keimanan yang tinggi, akal yang jernih, dan akhlak yang mendalam.