Meneguhkan Nilai Kerohanian Bermuhammadiyah dan Menyegarkan Struktural: Catatan AS Agusta 12 Syawal 1446 H
AS Agusta, S.IP, M.A. Akademisi Dalam tradisi Islam, kegembiraan (farah) bukan hanya ungkapan rasa didalam jiwa “emosi” melainkan suatu panc...

![]() |
AS Agusta, S.IP, M.A. Akademisi |
Dalam struktur organisasi, kegembiraan juga tercermin secara structural dimana suasana kerja tidak diliputi ketegangan birokratik yang membebani, melainkan rasa saling percaya yang frame oleh ukhwah tanpa makian, tanpa intrik, tanpa tepuk tangan yang terpaksa karena yang dihadirkan ialah niat bukan ambisi bertahan untuk menguasai. Namun hari ini ada sedikit kekecewaan dimana nilai dasar dalam organisasi sudah mulai terkikis karena sudah jauh dari Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) sehingga terjadi ekspresi kelelahan antar sesama daripada senyuman kebersamaan yang menyeluruh. Untuk mengembalikan senyuman itu maka kita perlu berbesar hati dan membesarkan hati antar sesama agar nilai-nilai rahmah (welas asih), syura, dan ta’awun dapat terjalin lebih indah lagi.
Syura menghasilkan kebijakan yang mengembirakan ummat tidak hanya sibuk pada merapikan rapat namun tidak merapikan niat dalam ber Muhammadiyah, syura bukan merupakan ceramah tunggal akan tetapi wadah menentukan sikap dan langkah kebersamaan dalam pergerakan social keagamaan ini. Kemudian penting juga bagi organisasi yang menggembirakan umat harus bisa merancang agenda membuat rindu untuk hadir bukan sekedar hadir karena kewajiban structural, kreativitas mendesain forum, kepedulian dalam identifikasi kebutuhan anggoata, dan fleksibilitas dalam mendukung dakwah inovatif merupakan tanda kehadiran organisasi. Kemudian kepekaan sosial siapa yang sedang berjuang dengan keterbatasan, siapa yang memerlukan dukungan untuk menyampaikan pesan dakwahnya jangan sampai hadir ketika penggalangan dana tapi absen saat kader membutuhkan dana untuk berdakwah, begitupula dengan anggota jangan dibutuhkan sesekali untuk angkat tangan tapi tidak pernah diajak diskusi. Inilah yang kita maksud membesarkan hati orang lebih utama dari berprsangka tanpa diskusi.
Oleh sebab itu, oragnisasi keislaman seperti Muhammadiyah dituntut tidak hanya cakap dalam membuat structural dan program di atas “ingin” namun juga mahir untuk membangun suasana teduh. Suasana menggembirakan, memanusiakan dan menyatukan, yang paling kita rindukan bukan ruang rapatnya tetapi suasana batinnya, bukan siapa yang berbicara paling keras, tapi siapa yang paling peduli. Muhammadiyah selalu menunjukkan teladan bagaimana kerja kolektif tidak perlu gaduh, dan bagaimana keputusan strategis lahir dari ruang syura yang hangat dan penuh keikhlasan, bukan dari pertarungan ego dan suara terbanyak semata, ini bukan perkara teknis tapi perkara etika organisasi, bukan soal menang saat musyawarah tapi soal menangkap nurani warga Persyarikatan Muhammadiyah. Sebagai warga muhammdiyah perlu bagi kita untuk merawat ruang-ruang syura sebagai taman gagasan, bukan medan kuasa. Kita hadirkan kegembiraan bukan sebagai topeng formalitas, tetapi sebagai hasil dari rasa memiliki yang tulus.