PROBLEMATIKA PEMBAGIAN WARISAN OLEH AHLI WARIS
KURNIADI ARIS, SH.MH.MM Ketua Majlis Hukum Muhammadiyah Kota Sungai Penuh / Pengacara / Dosen IAIN Kerinci Sudah tidak asing dengan kita dik...

![]() |
KURNIADI ARIS, SH.MH.MM Ketua Majlis Hukum Muhammadiyah Kota Sungai Penuh / Pengacara / Dosen IAIN Kerinci |
Khusus hukum perdata yang berlaku di Indonesia hukum ini mengatur warisan untuk warga negara Indonesia yang tidak beragama Islam. Karena warga negara Indonesia mayoritas beragama Islam hukum hanya ini sesekali saja di gunakan untuk pembagian warisan, yang paling lazim di gunakan adalah pembagian warisan secara hukum Islam dan hukum adat dan tidak jarang terjadi disensus bahkan friksi tentang bagaimana penerapan kedua hukum ini dalam masyarakat hukum aman yang akan dipatuhi untuk pembagian waris karena dua hukum yang mengatur untuk satu objek hukum.
Secara sederhana terlebih dahulu perlu di dudukan pemahaman apa itu warisan, warisan adalah harta benda termasuk hutang yang di tinggalkan oleh seseorang karena sudah meninggal dunia maka harta-harta dan hutangnya disebut warisan dan orang yang meninggal disebut pewaris selanjutnya jika pewaris punya anak maka anak-anak dan semua keturunannya di sebut sebagai ahli waris (warasah). Lalu bagaimana pula pembagian warisan tersebut apakah secara adat atau secara hukum Islam, satu hal yang pasti penulis sampaikan, jika si pewaris mempunyai hutang maka dahulukan untuk membayar hutang pewaris, jika berlebih barulah di bagi oleh ahli warisnya.
Jika pembagian warisan terjadi di Minangkabau masyarakat di sana mempunyai falsafah hidup “adat basandi syara, syara basandi kitabullah, syara mangato adat memakai. Secara sederhana dapat kita tarik konklusi maksud dari falsafah ini bahwa sendi-sendi adat adalah agama, dan apa yang di katakan agama harus dipakai oleh adat. Jika demikian Penulis berpendapat bahwa pembagian waris tersebut tentunya mendahulukan pembagian warisan secara hukum Islam hal ini selaras dengan pendapat para ulama. Dalam konteks ini bukan pusaka tinggi karna pusaka tinggi bukan untuk menjadi hak milik selanjutnya persoalan ini butuh kupasan tersendiri tentang pusaka rendah dan pusak tinggi. Terkait dengan pembagian warisan bagi orang-orang yang beragama Islam berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 pasal 49 Huruf b menyatakan, “Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara waris bagi orang yang beragama Islam”. Kewenangan pengadilan agama ini disebut dengan kewenangan mutlak (absolut).